TY - BOOK AU - Abdul Manan AU - Ah Maftuchan T1 - Anggaran Pro Rakyat Miskin: Panduan Untuk Jurnalis T2 - Perkumpulan PRAKARSA PB - Perkumpulan PRAKARSA DA - 2010/12// PY - 2010 AB - Sebuah berita di media membuat rasa kemanusiaan menjerit. Seorang ibu yang hamil tujuh bulan dan anaknya yang berusia 5 tahun ditemukan meninggal di Makassar. Mereka tewas mengenaskan bukan karena penyakit. Empat hari tidak makan membuat mereka mati kelaparan. Seketika itu juga, gegerlah republik. Pedih sekali membaca berita itu. Rasa mencekam dan nurani terkoyak dirasakan segenap penjuru negeri ini. Berita kematian yang mengenaskan itu hanyalah sekelumit kabar sedih yang disuarakan media. Sebenarnya, masih banyak penderitaan rakyat miskin yang terjadi sehari-hari dan menyayat hati, namun tak terkabarkan serta membisu. Tiba-tiba kita tersadarkan, lalu dimana peran negara dan pemerintah? Mereka terlihat “tidak bermanfaat” disini. Mereka ternyata tidak bisa diandalkan untuk bersandar bagi rakyatnya yang mengalami penderitaan hebat. Lalu gugatan keras pun muncul, apakah konstitusi yang mengamanatkan “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara” hanya indah di tulisan, namun nihil pelaksanaan? Bebarengan dengan hal ini, ironisnya dengan bangga pemerintah mengabarkan kapasitas anggaran negara (APBN) yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Seperti ditulis buku ini, selama 10 tahun terakhir sejak reformasi (1999-2009) anggaran naik hampir 5 kali lipat. Akan tetapi, persoalan kemiskinan terus tertinggal. Bila menggunakan ukuran kemiskinan Bank Dunia (US$ 2 paritas daya beli/hari atau hampir Rp 7.000/hari), hampir separuh penduduk Indonesia di bawah garis kemiskinan. Problem ini tetap saja tidak jauh beranjak dari tahun ke tahun. Hal konkret dan mendasar seperti kematian ibu dan bayi, terutama di kalangan miskin, masih terus menghantui kita. Bayi di Indonesia mempunyai kemungkinan meninggal tiga kali lipat bila dibandingkan Vietnam. Kondisi kematian ibu dan bayi di Indonesia kini termasuk terburuk di Asia Tenggara. Polio justru menyeruak kembali di era reformasi tahun 2005, pertama kalinya sejak tahun 1996. Pertanyaan mendasar terhadap dunia jurnalistik terkait kasus ini, apakah jurnalisme kita hanya sekedar mengabarkan terus-menerus adanya “kebakaran” ? Atau, terlibat aktif juga disamping mengabarkan adanya “kebakaran”, namun juga mencegah dan mengupayakan supaya tidak terjadi lagi? Sederhananya, berita bukan hanya bernuansa jeritan sosial (protesta), namun juga aktif sekaligus mengurai persoalan dan membuka wacana untuk penyelesaian persoalan supaya lebih terlembaga (propuesta) agar persoalan tidak terulang. Semangat propuesta inilah yang diusung secara bersemangat oleh buku ini terkait dengan anggaran pro-kaum miskin (pro poor). Bagaimana mungkin anggaran yang naik berlipat-lipat, namun problem kemiskinan kemiskinan tak menunjukkan penurunan yang signifikan. Anggaran bagaimanapun juga adalah sumber daya yang sifatnya terbatas maka ia menjadi rebutan. Alokasi anggaran adalah salah satu wujud konkret dari adanya prioritas kebijakan (policy priorities). Seperti biasa, penentuan prioritas kebijakan dalam pemerintahan (pusat maupun daerah) merupakan benturan dan kompromi dari berbagai kepentingan. Warganegara, terutama kaum miskin, mempunyai pengaruh paling lemah dalam wacana memperebutkan policy priorities yang diwujudkan dalam alokasi anggaran. Disamping itu, diskursus anggaran masih terasa sangat elit (DPR/D dan pemerintah) atau didominasi kalangan tertentu saja (terutama ekonom). Padahal, warganegara (citizen) sebenarnya sangat berkepentingan dengan alokasi anggaran dalam menghadapi persoalan hidup sehari-hari. Pelayanan kesehatan buruk, jalan rusak dan becek, irigasi mengering, harga pangan pokok melambung, banjir, kemacetan, kemiskinan, kelaparan, dan lain-lain, adalah hal yang sangat berkaitan dengan anggaran. Tak mengherankan akibat pengetahuan dan akses yang terbatas, kepentingan warganegara (terutama kaum miskin) digilas oleh kepentingan yang jauh lebih dominan dalam menentukan kebijakan (dominant players). Inilah yang kita jumpai pada saat ini, bagaimana anggaran untuk birokrasi jauh lebih mendominasi dari pada pembiayaan pembangunan atau, membangun gedung parlemen megah dengan fasilitas mewah yang nilainya triliunan dianggap lebih penting dari pada mengurangi kemiskinan. Prasyarat membuka mata warganegara melalui media massa untuk berperan aktif dalam memperjuangkan hak anggaran (pro-kaum miskin), tentu juga mensyaratkan (minimal) pekerja media yang memahami persoalan anggaran. Buku ini mencoba untuk mengisi hal tersebut. Meski wacana anggaran sepertinya terkesan teknis-numerik, namun buku ini tidak ingin terjebak dalam hal itu. Memang persoalan teknis tentu tidak bisa dihindari, tapi buku ini juga menjangkau hal yang sifatnya substantif, filosofis dan etis sehingga tidak kering serta tetap enak dibaca. Akhirnya, saya mengucapkan profisiat dan selamat atas penerbitan buku ini. Terima kasih bagi penulis yang menyisihkan waktunya untuk menulis buku yang sangat penting ini dan juga kepada Yayasan TIFA atas dukungannya sehingga buku ini dapat diterbitkan. Semoga buku ini bermanfaat khususnya bagi pekerja media (wartawan) dalam melakukan literasi anggaran bagi publik, terutama untuk memperjuangkan anggaran pro-kaum miskin dan mengembangkan emansipasi kewarganegaraan (citizenship) dalam hak anggaran. ER -